Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Perjalanan pendatang ilegal yang putus asa sering berakhir kematian, kata para aparat

Oleh Grace Chen untuk Khabar Southeast Asia di Kuala Lumpur – 06/04/12

April 05, 2012

Polisi Malaysia menjaga sebuah pos pemeriksaan dekat perbatasan Malaysia-Thailand di desa Jeram Perdah, sekitar 550 km di timur laut Kuala Lumpur. Para penyelundup manusia mencoba menyelinapkan para pendatang ilegal yang bersembunyi di truk atau bagasi mobil ke dalam negara-negara itu. [Bazuki Muhammad/Reuters]

Polisi Malaysia menjaga sebuah pos pemeriksaan dekat perbatasan Malaysia-Thailand di desa Jeram Perdah, sekitar 550 km di timur laut Kuala Lumpur. Para penyelundup manusia mencoba menyelinapkan para pendatang ilegal yang bersembunyi di truk atau bagasi mobil ke dalam negara-negara itu. [Bazuki Muhammad/Reuters]

Sedili Besar di pesisir timur semenanjung Malaysia biasanya senyap dan hijau. Tapi tempat itu menjadi lokasi terjadinya tragedi di bulan Februari ketika delapan jasad ditemukan di pantai Teluk Semayong.

Orang-orang yang tewas itu adalah para pendatang yang impiannya kandas beserta tanda pengenal mereka, jiwa mereka tak dihargai oleh orang-orang yang dibayar untuk menyelundupkan mereka dari satu tempat ke tempat lain.

Saat perahu mereka terbalik di laut yang ganas, awaknya – yaitu para anggota komplotan penyelundupan manusia di negara bagian Johor – berenang menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan para penumpang mereka, yang diyakini berasal dari Afganistan, tenggelam, menurut Inspektur Kepala Polisi Kota Tinggi Che Mahazan Che Aik.

Tujuh bulan yang lalu, 46 pendatang ilegal dari Indonesia hampir tenggelam di sepanjang pesisir negara bagian Johor yang sama, yaitu negara bagian paling selatan di semenanjung Malaysia.

Mesin perahu mereka mati dan mereka mulai digenangi air di lepas pantai Tanjung Balau. Untungnya, para nelayan di dekat situ memperingatkan Sub Pusat Penyelamatan Maritim, yang menemukan kapal itu terapung-apung 16,4 mil laut di sebelah timur Tanjung Sedili.

Penyelamatan itu terjadi di saat genting. Perahu itu tenggelam segera setelah penumpang terakhir diangkat, menurut Laksamana Pertama (Maritim) Zulkifli Bin Abu Bakr, seorang perwira tinggi daerah selatan untuk Badan Penegakan Hukum Maritim Malaysia (Penjaga Pantai Malaysia).

Dewan Penanggulangan Penyelundupan Manusia dan Pendatang (MAPO) mencatat 31 kasus penyelundupan manusia yang mencakup 655 pendatang ilegal, dan 47 penangkapan, sejak November 2011.

Masalah penyelundupan manusia mencapai titik terparah antara 2002 dan 2005, dengan Johor menjadi daerah yang paling sering disinggahi, ucap Roslan Yusof, mantan direktur pabean negara bagian Selangor.

“Saat itu, para pendatang menyelinap masuk dengan mobil gerbong dari Singapura sampai para aparat mengetahui modus operandi para penyelundup dan mulai memeriksa kendaraan yang mencurigakan,” kata Roslan. Ia menyatakan bagaimana polisi terkadang menarik keluar orang-orang yang sesak nafas dari bagasi mobil selama pemeriksaan itu.

Keselamatan penumpang mereka tidak diperhatikan para penyelundup, yang menarik biaya sebelumnya, katanya.

Di tahun 2007, sembilan warga Myanmar tewas saat kendaraan yang mereka tumpangi menabrak sisi belakang truk bermuatan bijih besi di Jalan Raya Pesisir Timur.

Di bulan Februari, para petugas pabean di Bukit Kayu Hitam, yang berbatasan dengan Thailand, menemukan empat warga Myanmar yang berusaha menyelinap keluar negara dalam bagasi mobil. Pengemudinya – seorang warga setempat berusia 30 tahun – merupakan penjahat kambuhan, menurut Direktur Pabean, Imigrasi dan Karantia setempat, Mohd Hatta Kassim.

Para pendatang ilegal yang datang ke Malaysia dengan harapan kehidupan yang lebih baik berisiko dimanfaatkan sebagai budak dan pekerja seksual, menurut Daniel Lo, manajer wilayah CAMSA, yaitu Koalisi Penghapusan Perbudakan Jaman Modern di Asia.

Menurut Daniel Lo, kepala CAMSA di Malaysia, para pendatang miskin sangat rentan dieksploitir sebagai buruh atau secara seksual di Malaysia. Para pendatang gelap sering diperas untuk membayar uang atau dipaksa untuk melunasi hutang kepada para penyelundup melalui kerja keras atau perdagangan seks. [Photo courtesy of CAMSA].

Menurut Daniel Lo, kepala CAMSA di Malaysia, para pendatang miskin sangat rentan dieksploitir sebagai buruh atau secara seksual di Malaysia. Para pendatang gelap sering diperas untuk membayar uang atau dipaksa untuk melunasi hutang kepada para penyelundup melalui kerja keras atau perdagangan seks. [Photo courtesy of CAMSA].

Lo bercerita tentang lima warga India yang “dipekerjakan” oleh sebuah kantor berita di Puchong untuk mengantarkan surat kabar. Mereka tidak dibayar selama enam bulan, dikurung setelah jam 7.30 malam dan diberi makan hanya satu lembar roti canai (roti pipih) sehari. Para korban diperdayai bahwa tidak ada satu orangpun, termasuk polisi, akan membantu mereka sebab mereka tak memiliki surat pengenal, menurut Lo.

Dalam kejadian lain, para warga Myanmar yang ditahan karena masuk secara ilegal dan dilepaskan oleh pihak berwajib di perbatasan Thailand didekati oleh para penyelundup yang menawarkan untuk “membantu” mereka kembali masuk dan transportasi ke Kuala Lumpur, ujar Lo.

Mereka yang tak memiliki dana untuk biaya perjalanan dipaksa menghubungi sanak saudara mereka di Myanmar. Para warga Myanmar ini lalu menjadi berhutang pada para penyelundup yang mengancam akan mencederai para anggota keluarga mereka bila mereka gagal memenuhi tuntutan para penyelundup.

Awal Tentang Kami Hubungi Kami Sanggahan +Fullsite