Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Pembuat Undang-Undang: Polisi harus berbuat lebih banyak untuk melindungi kelompok minoritas keagamaan

Oleh Elisabeth Oktofani untuk Khabar Southeast Asia di Jakarta

April 17, 2012

Polisi anti-huru hara melihat rumah terbakar yang dimiliki oleh pengikut sekte minoritas Ahmadiyah di Ciampea, provinsi Jawa Barat, Oktober 2010. Para tetangga warga Muslim yang kritis terhadap Ahmadiyah diduga telah membakar rumah tersebut. Anggota parlemen Indonesia Eva Kusuma Sundari menyerukan kepada kesatuan Polri untuk berbuat lebih banyak lagi untuk melindungi kaum minoritas agama. [Reuters]

Polisi anti-huru hara melihat rumah terbakar yang dimiliki oleh pengikut sekte minoritas Ahmadiyah di Ciampea, provinsi Jawa Barat, Oktober 2010. Para tetangga warga Muslim yang kritis terhadap Ahmadiyah diduga telah membakar rumah tersebut. Anggota parlemen Indonesia Eva Kusuma Sundari menyerukan kepada kesatuan Polri untuk berbuat lebih banyak lagi untuk melindungi kaum minoritas agama. [Reuters]

Satuan Polri belum mampu meningkatkan kemampuannya untuk melindungi kelompok minoritas agama, demikian disepakati oleh para ahli dalam diskusi panel di Jakarta baru-baru ini.

Meskipun Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim merupakan negara sekuler di mana kebebasan beragama dilindungi sesuai dengan undang-undang, beberapa kelompok minoritas agama dalam beberapa tahun terakhir telah diserang oleh para kelompok garis keras Muslim.

Langkah-langkah pembaruan cenderung berfokuskan pada perluasan administrasi polisi pusat daripada memperkuat kapasitas kekuatan pasukan lokal untuk menangani kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan GKI Yasmin, demikian kata Eva Kusuma Sundari, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan komite legislatif yang mengawasi urusan hukum.

Dalam menangani kekerasan tersebut, polisi sering mengutamakan pelestarian tatanan sosial daripada melindungi kelompok minoritas, demikian kata Eva pada pertemuan Klub Wartawan Luar Negeri di Jakarta pada tanggal 28 Maret.

"Daripada memberikan perlindungan, polisi sering kali meminta para kelompok minoritas untuk menyerah, demi menghindari konflik fisik," demikian katanya. "Mereka beralasan bahwa mereka tidak dapat memberi jaminan (sebuah) kelompok radikal tidak akan kembali untuk menyerang lagi, karena mereka tidak mungkin memobilisasi pasukan dan memberikan perlindungan selamanya.

"Namun demikian, sebagai petugas penegak hukum, polisi harus memusatkan diri pada pemberian perlindungan atas hak asasi manusia (daripada) menampung tatanan sosial." Sekte minoritas Islam Ahmadiyah telah menjadi target berbagai penyerangan mematikan di Indonesia, begitu juga para anggota sebuah komunitas kecil Paroki Kristen di Bogor, GKI Yasmin, dihalangi dalam melaksanakan upacara di Gereja mereka.

Umat merayakan Paskah secara diam-diam tahun ini, dan tidak memberi tahu polisi akan tempatnya, karena kehadiran polisi tidak menghentikan lusinan pengikut garis keras dari Gerakan Reformasi Islam (Garis) dan Forum Komunikasi Muslim (Forkami) dalam mengganggu perayaan Natal mereka, demikian ujar juru bicara GKI Yasmin Bona Sigalingging baru-baru ini kepada The Jakarta Post.

“Polisi ada di sini, tetapi mereka tidak banyak membantu kami. Sejak itu, kami merasa tidak ada gunanya memberi tahu polisi tentang kegiatan kami,” demikian tutur Bona.

Eva berkata bahwa dia frustasi bahwa rekan-rekannya di DPR sering kali memandang kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas lebih sebagai masalah setempat daripada masalah penegakan hukum .

“Namun demikian, polisi harus mengubah kebijakan dan strategi mereka untuk memperbaiki kepolisian masyarakat,” demikian katanya.

Menanggapi kritik-kritik tersebut, juru bicara Kepolisian Nasional Komandan Senior Boy Rafli Amar berkata bahwa polisi berikrar menegakkan hukum Indonesia dan mengejar siapapun yang melanggarnya.

Dia menjelaskan bahwa penduduk Indonesia berhak membentuk organisasi-organisasi massa, dan bahwa polisi telah menyelidiki para pemimpin Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 2008.

Para karyawan sedang membersihkan Star Deli cafe di Jakarta setelah diserang oleh para anggota Front Pembela Islam (FPI) dalam arsip foto Oktober 2004 ini. Jurubicara Kepolisian Nasional Komandan Senior Boy Rafli Amar berkata bahwa polisi telah menasihati FPI untuk menghindari cara-cara yang melanggar hukum dan mereka tidak akan lagi melakukan penggerebekan terhadap klub malam dan usaha bisnis yang lain. [Dadang Tri/Reuters]

Para karyawan sedang membersihkan Star Deli cafe di Jakarta setelah diserang oleh para anggota Front Pembela Islam (FPI) dalam arsip foto Oktober 2004 ini. Jurubicara Kepolisian Nasional Komandan Senior Boy Rafli Amar berkata bahwa polisi telah menasihati FPI untuk menghindari cara-cara yang melanggar hukum dan mereka tidak akan lagi melakukan penggerebekan terhadap klub malam dan usaha bisnis yang lain. [Dadang Tri/Reuters]

Sudah dikenal sering merazia bar, klub, dan tempat permainan selama Ramadan, FPI lebih dikenal lagi pada bulan Januari ketika para anggotanya melempar batu ke Kementerian Urusan Dalam Negeri untuk memprotes keputusannya membatalkan undang-undang daerah yang melarang penjualan alkohol

“Bahkan saat ini pun, kami masih berkomunikasi dengan para pemimpin FPI untuk membimbing mereka agar tidak melanggar hukum lagi,” demikian kata Boy, sambil menambahkan bahwa “FPI tidak lagi melakukan penyisiran di klub-klub malam.”

Dia berkata bahwa polisi harus berupaya mendidik bagian populasi yang masih tidak waspada akan beberapa aspek hukum dan hak asasi manusia dalam negara yang masih berkembang ini.

Johnson Panjaitan dari Pengawasan Polisi Indonesia mendesak kepolisian nasional untuk melatih pasukan polisi setempat dalam menangani konflik agama, terutama di wilayah-wilayah di mana kemungkinan terjadinya konflik semacam itu tinggi.

Intelijen polisi harus diperkuat terutama untuk pencegahan terjadinya konflik agama, demikian katanya

Di samping itu, polisi terhambat oleh kurangnya tindakan dari pemerintah, demikian menurut pandangannya

“Sayangnya, negara ini sebenarnya tidak cukup berani untuk membubarkan kelompok garis keras seperti FPI,” demikian katanya.

“Oleh karena itu, harus dimengerti bahwa hal ini bukan hanya masalah polisi saja, namun juga merupakan masalah pemerintah. Dan kami ingin mendukung Kepolisian Nasional Indonesia,” demikian tambahnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Paramadina di Jakarta dan Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa polisi hadir hanya sebanyak 25% dari 718 kejadian kekerasan antara tahun 1990 dan 2008.

Pada tahun 1999, tidak lama setelah akhir rezim Suharto, hukum baru secara resmi memisahkan Kepolisian Nasional Indonesia dari militer, yang telah mengendalikan kekuatan itu selama beberapa dasa warsa.

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite