Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Sementara Myanmar membuka diri, para pekerja migran mimpikan tanah air

Oleh Somchai Huasaikul dan Samila Nararanode untuk Khabar Southeast Asia di Hat Yai

April 30, 2012

Warga Phuket, Khin Myowin, yang berasal dari etnis Mon, dengan putrinya Karn (kiri) dan seorang sepupu muda. Etnis Mon mudah dikenali dari lingkaran bubuk krem yang mereka oleskan di wajah mereka. Sementara pemerintah Myanmar mengambil langkah positif, termasuk mengadakan pemilu, menuju penegakan kembali demokrasi, banyak pekerja migran Myanmar berpikir untuk kembali ke tanah air mereka. [Samila Nararanod/Khabar]

Warga Phuket, Khin Myowin, yang berasal dari etnis Mon, dengan putrinya Karn (kiri) dan seorang sepupu muda. Etnis Mon mudah dikenali dari lingkaran bubuk krem yang mereka oleskan di wajah mereka. Sementara pemerintah Myanmar mengambil langkah positif, termasuk mengadakan pemilu, menuju penegakan kembali demokrasi, banyak pekerja migran Myanmar berpikir untuk kembali ke tanah air mereka. [Samila Nararanod/Khabar]

Seperti banyak penduduk dari etnis Mon di provinsi Phuket, Thailand selatan, Aur Yee dan istrinya Khin Myowin bersemangat akan perubahan yang sedang terjadi di Myanmar dan berharap untuk kembali.

“Kami pasti akan pulang,” demikian tutur Khin, 31 tahun. “Kami sedang menyiapkan diri dan mencoba menabung cukup banyak untuk membuka usaha sendiri di sana. Saya sangat yakin bahwa Aung San Suu Kyi akan membantu kami sekarang pada saat demokrasi sejati sedang dibangun.”

Khin dan suaminya sudah tinggal di Phuket selama enam tahun dan putri mereka yang berusia tiga tahun pergi dengan mereka ke berbagai lokasi pekerjaan di mana mereka dikirim oleh perusahaan mereka dari Thailand. Aur, 38 tahun, sedang bekerja membangun rumah di kompleks perumahan yang baru saja diselesaikan di Phuket ketika Khabar Southeast Asia berbicara kepada pasangan itu.

Dalam transformasi mendadak yang mengejutkan banyak pihak dalam komunitas global, para pemimpin sipil Myanmar yang dikukuhkan junta telah melangkah berani untuk membangun kembali demokrasi. Perubahan itu meningkatkan harapan bahwa Myanmar akan mampu keluar dari pengasingan internasionalnya yang telah berlangsung lama dan mendorong ekonominya yang tersendat.

Bagi kaum migran yang telah pergi ke Thailand untuk mencari penghidupan, berita itu mungkin berarti harapan yang lama dipendam akan menjadi nyata.

Pekerja Myanmar “Yao” berkata dia mengharapkan 70% pekerja dari Myanmar meninggalkan Phuket. Namun demikian, beberapa warga yang kebanyakan dari etnis Mon bekerja di Thailand secara ilegal dan pemerintah Myanmar tidak mengakui semua penduduk sebagai warga negara, menyebabkan banyak pekerja migran tidak memiliki kewarganegaraan. [Somchai Huasaikul/Khabar]

Pekerja Myanmar “Yao” berkata dia mengharapkan 70% pekerja dari Myanmar meninggalkan Phuket. Namun demikian, beberapa warga yang kebanyakan dari etnis Mon bekerja di Thailand secara ilegal dan pemerintah Myanmar tidak mengakui semua penduduk sebagai warga negara, menyebabkan banyak pekerja migran tidak memiliki kewarganegaraan. [Somchai Huasaikul/Khabar]

Seperti banyak penduduk Myanmar, Yao yang berusia 30 tahun tidak memiliki nama keluarga. Dia datang ke Thailand sepuluh tahun yang lalu dan sejak itu bekerja di bidang pembangunan. Sebagai pekerja yang terdaftar secara hukum, surat-suratnya diurus oleh perusahaannya.

“Sekitar 70%” pekerja dari Myanmar yang pada saat ini bekerja di Phuket berencana untuk pulang,” demikian katanya pada Khabar.

Yao sendiri ingin kembali dan menemui keluarganya di Yangon, namun berkata dia butuh waktu sampai bulan Oktober untuk menabung dana perjalanan. Bagi beberapa perusahaan Thailand, perkembangan baru ini menimbulkan banyak kekhawatiran. Beberapa pihak cemas bahwa perpindahan pekerja migran secara besar-besaran dapat merugikan perekonomian setempat – terutama pasar properti yang telah berkembang pesat selama beberapa dasawarsa.

“Bisa dipastikan bahwa beberapa warga Myanmar, tetapi tidak semuanya, akan kembali ke negara mereka sekarang ini,” demikian ujar Tanan Tanpaibun, seorang pengusaha ternama di Phuket dan kepala Asosiasi Properti Phuket, kepada Khabar. “Mereka mendapat pekerjaan di tempat-tempat seperti Dawei.”

Dia merujuk kota pelabuhan di mana pemerintah Myanmar membangun zona ekonomi khusus dan kawasan industri pertamanya.

“Selain itu, saya rasa keadaan di Myanmar cukup stabil sekarang,” demikian ungkap Tanan. “Mereka telah membuka negara itu, jadi saya rasa lebih banyak orang akan kembali."

“Semua kontraktor mengeluh mengenai masalah dengan para pekerja Myanmar sekarang, karena jumlah mereka makin sedikit. Mereka yang masih bekerja berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain demi peningkatan gaji yang hanya 10 baht (32 sen) sehari, demikian menurut mereka.”

Banyak perusahaan pembangunan besar yang berpusat di Bangkok dengan proyek di Phuket cenderung mempekerjakan kontraktor di ibukota Bangkok, di mana banyak pekerja adalah warga Thailand. Pekerjaan perusahaan-perusahaan tersebut di Phuket mungkin tidak akan terlalu dipengaruhi oleh perpindahan pekerja Myanmar. Namun demikian, para kontraktor lokal yang menguasai kebanyakan proyek pembangunan di Phuket sangat bergantung pada mereka. Mereka merasakan dampak yang sangat merugikan jika perpindahan massa terjadi, demikian katanya.

Keadaan buruk

Pemandangan akan para pekerja Phuket, yang kebanyakan dari etnis Mon, berdesak-desakan di bagian belakang lori dan truk pembuang, sesekali saat hujan lebat, begitu pada umumnya sehingga kebanyakan warga tidak menghiraukannya. Kebanyakan dari para pekerja ini tinggal di kamp lokasi pembangunan, yang dibangun seadanya dari kayu dan lempengan seng.

Sebuah panel senat Thailand yang bertemu di pulau itu beberapa tahun yang lalu menyatakan bahwa jumlah pekerja Myanmar di Phuket saja kemungkinan berjumlah 200.000 orang. Sekitar 660.000 warga Thailand tinggal dan bekerja di Phuket, demikian menurut perkiraan Kementerian Dalam Negeri.

Diperkirakan sejumlah dua juta orang dari Myanmar bekerja di Thailand, kebanyakan secara ilegal.

Beberapa pekerja memiliki surat izin bekerja di bawah sistem pemerintah Thailand yang mengizinkan para pekerja buruh dari tiga negara yang bertetangga untuk bekerja di Thailand, tetapi kebanyakan tidak memiliki surat izin tersebut.

Sebuah sistem yang dibentuk oleh pemerintah Thailand dan Myanmar untuk mengeluarkan paspor sementara dan visa kerja bagi para pekerja migran dari Myanmar, Kamboja, dan Laos sudah dianggap gagal. Sistem itu mahal, lama, dan mengharuskan para pekerja untuk membuktikan kewarganegaraan mereka sendiri di tanah air mereka.

Namun demikian, pemerintah Myanmar tidak mengakui semua warga yang tinggal di wilayahnya sebagai warga negara, yang menjadikan verifikasi mustahil untuk dilakukan. Banyak warga negara Myanmar takut bahwa mengeluarkan informasi yang diperlukan dapat membahayakan keluarga di tanah air atau mengakibatkan masalah lain.

Di Phuket, 99% pekerja di dalam program adalah warga Myanmar atau dari daerah yang dikuasai pemerintah Myanmar, demikian menurut Kantor Tenaga Kerja Phuket. Kebanyakan dari mereka kerja berat yang tidak diinginkan oleh warga Thailand seperti dalam bidang pembangunan, penyadapan karet, dan perikanan.

Lainnya mendapat pekerjaan dalam industri pariwisata Phuket yang besar, yang meskipun sangat banyak pekerja migran, masih kekurangan pekerja.

Banyak pekerja Myanmar tiba di Thailand dengan menyeberangi provinsi perbatasan Ranong, sering kali dengan bantuan penyelundup manusia.

Pada bulan April 2008, 101 pekerja Myanmar dimasukkan ke dalam sebuah kompartemen lemari es sebuah truk pengangkut hasil laut dari perbatasan Ranong ke Phuket. Sebanyak 54 orang tewas karena sesak nafas, termasuk seorang anak perempuan berusia 8 tahun.

Satu perusahaan yang membantu para pekerja dari Myanmar mendapatkan izin bekerja dan mencari pekerjaan adalah perusahaan Noom Broker.

Wakil dari Noom Broker, Panida Rodnikorn, berkata bahwa selain industri pembangunan, pekerjaan buruh lain yang dikuasai para pekerja Myanmar adalah hotel, sekolah, rumah sakit, toko, dan perusahaan industri layanan lainnya di Phuket.

Terlalu dini untuk menyatakan apa perubahan di Myanmar yang akan berdampak pada pasar tenaga kerja Phuket, demikian ucap Panida.

Pandangan ini juga dikemukakan Thitinan Pongsudhirak, yang mengepalai Institut Kajian Keamanan dan Internasional di Universitas Chulalongkorn.

“Hal ini tergantung pada perkembangan di Myanmar. Akan ada banyak perusahaan di sana, tentu saja, tetapi akan butuh waktu. Sebagai dampak menengah, mungkin mereka akan kembali dan mencari pekerjaan di sana. Namun demikian, ini semua adalah mengenai pekerjaan, di mana lokasi pekerjaan, dan di mana gajinya. Jika mereka bisa mendapatkannya di Myanmar, maka, ya – akan ada perpindahan, namun jangan lupa bahwa pasar tenaga kerjanya lebih bersatu padu,” demikian ungkapnya.

“Kaum Mon bisa datang dan pergi. Mereka akan membuat perhitungan berdasarkan lokasi pekerjaan. Di wilayah etnis minoritas, hal ini tetap tidak mudah. Banyak kesepakatan gencatan senjata bersifat sementara, dan mereka harus memulai [produksi ekonomi] dari awal,” demikian ujar Thitinan.

“Lihat saja apa yang akan terjadi dalam enam bulan. Saya tidak akan terkejut jika melihat banyak dari mereka kembali ke sini.”

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite