Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Tahun Baru Imlek sorot toleransi agama

Oleh Yenny Herawati di Madiun, Jawa Timur, dan Cempaka Kaulika di Jakarta

Februari 15, 2013

Seorang penari Barongsai beraksi di kuil umat Budha Vihara Hwie Ing Kiong Madiun pada tanggal 10 Februari. Meskipun tarian singa ini menunjukkan kekuatan dan membawa kemujuran, bagi banyak rakyat Indonesia, maknanya lebih mendalam: pluralisme dan non diskriminasi.

Seorang penari Barongsai beraksi di kuil umat Budha Vihara Hwie Ing Kiong Madiun pada tanggal 10 Februari. Meskipun tarian singa ini menunjukkan kekuatan dan membawa kemujuran, bagi banyak rakyat Indonesia, maknanya lebih mendalam: pluralisme dan non diskriminasi.

Warga dari berbagai agama secara damai merayakan Tahun Baru Imlek minggu lalu, yang disebut Imlek oleh rakyat setempat, meskipun adanya kontroversi apakah kaum Muslim boleh berpartisipasi.

Acara tahunan ini diadakan pada hari Minggu (10 Februari). Menampilkan kostum, tarian, adat, dan makanan Cina, acara ini secara luas lebih dianggap sebagai pesta budaya, daripada acara agama. Namun, sejumlah pihak konservatif agama berkata bahwa acara ini mencakup unsur-unsur umat Budha, Tao, dan Konfusianisme, dan karena itu terlarang bagi umat Muslim yang patuh.

Meskipun adanya perdebatan mengenai masalah ini, festival ini dirayakan di banyak tempat di seluruh Jakarta – termasuk Masjid Lautze di pusat kota. Di sana, masyarakat sekitar merayakan Imlek dengan nuansa Muslim.

Tahun lalu, tempat ini mengadakan lomba pembacaan Al-Qur’an dan Azan (panggilan shalat) untuk merayakan Imlek, menurut Yusman Iriansyah, 59 tahun, juru bicara masjid dan Yayasan Haji Karim Oei yang berhubungan dengannya, yang mengelola Pusat Informasi Islam bagi etnis Tionghoa.

Acara tahun ini lebih sederhana. Warga hanya berkumpul untuk merayakan hari raya ini dan menikmati hidangan istimewa seperti Lontong Cap Gomeh, hidangan tradisional Jawa versi Indonesia Tionghoa.

“Terserah peziarah yang memutuskan,” kata Yusman kepada Khabar Southeast Asia. “Meskipun kami tidak mengadakan acara istimewa seperti tahun lalu, kami masih berkumpul untuk menunjukkan rasa syukur dan berkumpul dengan sesama kaum Muslim etnis Tionghoa.”

Tiga pemain musik berpentas dalam Festival Bulan Semi pada tanggal 10 Februari di Grand Indonesia, salah satu mal terbesar di Jakarta. Lagu-lagu tradisional Cina menandai kedatangan Imlek, Tahun Baru Cina. [Cempaka Kaulika/Khabar].

Tiga pemain musik berpentas dalam Festival Bulan Semi pada tanggal 10 Februari di Grand Indonesia, salah satu mal terbesar di Jakarta. Lagu-lagu tradisional Cina menandai kedatangan Imlek, Tahun Baru Cina. [Cempaka Kaulika/Khabar].

Keanekaragaman di Madiun

Di Madiun, Jawa Barat, Imlek merupakan acara untuk memperingati toleransi agama dan hidup berdampingan.

“Perayaan Imlek berjalan sangat lancar,” kata Agus Hidayat, anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang setempat. “Acara ini dilangsungkan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Madiun. Semua pengikut agama boleh hadir, yang menurut saya bagus,” kata Agus kepada Khabar.

"Ini adalah contoh toleransi dan masyarakat terbuka yang baik, yang menunjukkan bahwa kita bisa menghargai agama dan budaya lain," katanya, seraya menambahkan bahwa MUI tidak mengekang umat Islam dalam merayakan acara ini.

Peserta acara Imlek Sue Ling Siau, 23, berkata bahwa setahu dirinya, tahun ini menandai pertama kalinya warga Madiun melintasi perbedaan agama dan berpartisipasi bersama.

"Saya tahu, keturunan Tionghoa di Indonesia menganut berbagai agama. Tetapi, inilah pertama kalinya Tahun Baru Imlek di kota ini melibatkan warga dari keyakinan agama yang berbeda," katanya kepada Khabar.

"Menurut saya, baik untuk memberi contoh pada generasi muda kita, yang menunjukkan bahwa kita bisa menghormati budaya dan agama berbeda serta bahwa kita merupakan satu bangsa, yaitu Indonesia."

Kaligrafi Arab dan Tionghoa digantung di dinding Masjid Lautze, yang melayani masyarakat Muslim Tionghoa di Jakarta Pusat. Masjid ini dibangun dan didekorasi bergaya Cina untuk membantu warga Indonesia etnis Tionghoa merasa nyaman di sana. [Cempaka Kaulika/Khabar].

Kaligrafi Arab dan Tionghoa digantung di dinding Masjid Lautze, yang melayani masyarakat Muslim Tionghoa di Jakarta Pusat. Masjid ini dibangun dan didekorasi bergaya Cina untuk membantu warga Indonesia etnis Tionghoa merasa nyaman di sana. [Cempaka Kaulika/Khabar].

Imlek melambangkan pluralisme

Widya Artanti, seorang wanita Madiun berusia 34 tahun, berkata kepada Khabar bahwa makna perayaan ini lebih mendalam baginya.

"Bagi banyak orang, Imlek tidak hanya melambangkan budaya Tionghoa atau keyakinan agama tertentu. Kami menghargai Imlek sebagai lambang pluralisme dan non diskriminasi," katanya kepada Khabar selama acara ini.

Widya merujuk sejarah Indonesia selama rezim Suharto, saat perayaan Imlek jarang diperbolehkan. "Meskipun sekarang belum sempurna, terlihat bahwa kita telah membaik. Kebanyakan warga Indonesia menghargai pluralisme seperti diajarkan pemimpin kami, bapak pluralisme, yaitu Gus Dur," katanya.

Di bawah kepemimpinan mantan Presiden Indonesia dan pemimpin Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, Konfusianisme menjadi agama keenam yang diakui resmi di Indonesia, bersama Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu.

Astrid Emmeline Kohar, 20, menjelaskan bahwa Tahun Baru Imlek adalah saat baginya untuk berkumpul bersama sanak saudara.

"Tidak hanya Tahun Baru Imlek menjadi lambang kesadaran dan kasih sayang bagi banyak keturunan Tionghoa di Indonesia, tetapi juga merupakan waktu berkumpul bagi keluarga," katanya. Perayaan ini termasuk kebiasaan memberi hong bao, amplop merah istimewa berisi uang, kepada teman-teman atau kerabat yang belum menikah.

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite