Khabar Southeast Asia

Berpawai untuk Indonesia yang lebih toleran

Oleh Yenny Herawati untuk Khabar Southeast Asia di Jakarta

April 18, 2013

Sekitar 300 pemimpin agama minoritas Syiah Indonesia termasuk para ulama Syiah, para pengikut Ahmadiyah dan para anggota gereja Kristen Batak Protestan berpawai di depan parlemen, Senin (8 April). Memprotes intoleransi beragama dan diskriminasi di negara ini, mereka berteriak

Sekitar 300 pemimpin agama minoritas Syiah Indonesia termasuk para ulama Syiah, para pengikut Ahmadiyah dan para anggota gereja Kristen Batak Protestan berpawai di depan parlemen, Senin (8 April). Memprotes intoleransi beragama dan diskriminasi di negara ini, mereka berteriak "kami memiliki hak" dan "hentikan intoleransi". [Adek Berry/AFP].

Sangat jarang ketika para pemimpin dari berbagai komunitas agama berkumpul untuk memprotes intoleransi agama. Tetapi pada tanggal 8 April, para pimpinanAhmadiyah, Syiah, Kristen, dan Muslim Sunni berdiri bersatu menuntut Indonesia melindungi para agama minoritas.

Pawai yang dilakukan oleh sekitar 300 orang di luar parlemen nasional didukung oleh organisasi Muslim terbesar di negara itu, Nahdlatul Ulama (NU).

"Kami di sini untuk mengatakan kepada dunia bahwa umat Islam toleran. Kami adalah Muslim, dan kami mengambil bagian dari pawai ini untuk mengirim pesan bahwa jika ada intoleransi di Indonesia, hal ini hanya disebabkan oleh sebagian kecil dari populasi," kata joko Purwanto, pengikut NU yang berpartisipasi dalam protes tersebut.

"Kita harus bersatu," katanya kepada Khabar. "Dalam protes ini, kami ingin menunjukkan bahwa sebagian besar umat Islam toleran."

Menjunjung tinggi kemajemukan

Juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufik Kiemas bertemu dengan anggota kelompok tersebut di gedung legislatif setelah aksi protes.

Taufik berkata bahwa dia akan mencari kesempatan untuk bertemu dengan para pemimpin negara dan kehakiman untuk mendiskusikan kebebasan agama. Dia berjanji akan menjadwalkan pertemuan dengan segera dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Hakim Agung M. Hatta Ali, dan Komisi Yudisial.

“Saya akan menyampaikan apa yang diinginkan semua orang - yaitu Indonesia yang lebih toleran,” ujar Taufik. Dia juga mengatakan penghargaannya bagi aspirasi yang diutarakan melalui protes tanpa kekerasan tersebut.

Ketua Persatuan Gereja Indonesia, Andreas Yewangoe Ananguru, berkata bahwa toleransi agama harus diterima tanpa pertanyaan di Indonesia.

'Ini prinsip negara kita,' katanya. 'Jangan biarkan kelompok-kelompok intoleran mengatur negara kita atau membiarkan aksi-aksi intoleransi yang melanggar UU Indonesia. Pluralisme di Indonesia harus menjadi sesuatu yang diterima dan tidak dipertanyakan.'

Suprapto, perwakilan dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), menegaskan bahwa para uskup prihatin dengan intoleransi beragama.

"KWI mendukung penegakan konstitusi untuk kebebasan beribadah. Kami sepenuhnya mendukung ini," katanya kepada Khabar.

Taufik mendorong semua orang untuk tetap tenang dan mengatakan bahwa sebuah solusi akan segera datang. "Menurut Pancasila (lima prinsip filosofis Indonesia), apa yang terjadi di Indonesia sekarang (berbagai kasus intoleransi) sangat tidak biasa. Ada banyak pulau di Indonesia dengan begitu banyak agama dan bahasa yang mampu untuk tetap bersatu," katanya.

Toleransi adalah kunci terhadap prospek

Emilia Renita, seorang Muslim Syiah, berkata bahwa toleransi agama sangat penting untuk masa depan negara.

"Kami hidup berdampingan dengan orang dari agama lain selama bertahun-tahun, tetapi akhir-akhir ini hidup kami tercemar. Kami sedih ketika diperlakukan tidak adil. Kita harus memiliki solusi atas tindakan-tindakan intoleran," katanya.

Emilia berharap bahwa sebagai akibat dari protes, suara yang mendukung toleransi di Indonesia akan didengar dan pemerintah akan merespon dan mendorong semua orang untuk saling menghormati.

Dewi Kanti, seorang pengikut tradisi Sunda Wiwitan, mengatakan bahwa orang harus kembali fokus pada prinsip nasional "berbeda tetapi satu jua" dan menyadari bahwa semua agama bisa hidup berdampingan.

Menurut Dewi, peran pemerintah adalah untuk menjamin masa depan toleransi agama.

"Anda harus memastikan bahwa apa yang telah kami alami tidak lagi dialami oleh saudara-saudara kita yang beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan kelompok minoritas lainnya," kata Dewi kepada Khabar.

Pengikut dari sistem kepercayaan animisme asli Sunda, Jawa Barat bingung bahwa mereka sekarang diharuskan untuk mengisi "Islam" sebagai agama mereka di kartu identitas nasional mereka.

Edwin Marbun, koordinator dari aksi tersebut, mengatakan bahwa para demonstran menolak segala bentuk kekerasan dan intimidasi atas nama agama.

"Kita perlu meningkatkan kesadaran lebih pada semua tingkat bahwa setiap orang adalah sama dan supaya masyarakat menerima toleransi agama untuk membuat semua orang aman," katanya.

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite