Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

ASEAN bahas hak asasi manusia dalam bisnis

Oleh Wella Sherlita untuk Khabar Southeast Asia di Jakarta

Mei 04, 2013

Marzuki Darusman, direktur eksekutif Pusat Sumber Daya Hak Asasi Manusia ASEAN (HRRC), berbicara saat peluncuran studi terbaru dari lembaga ini mengenai bisnis dan hak asasi manusia, di Hotel Four Seasons di Jakarta pada tanggal 9 April. [Wella Sherlita/Khabar].

Marzuki Darusman, direktur eksekutif Pusat Sumber Daya Hak Asasi Manusia ASEAN (HRRC), berbicara saat peluncuran studi terbaru dari lembaga ini mengenai bisnis dan hak asasi manusia, di Hotel Four Seasons di Jakarta pada tanggal 9 April. [Wella Sherlita/Khabar].

Sementara negara-negara Asia Tenggara bersemangat untuk meningkatkan ekonomi mereka, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) semakin memperhatikan kebutuhan untuk menjamin standar hak asasi manusia, yang dipandang penting untuk menarik investasi.

Pada bulan April, Pusat Sumber Daya Hak Asasi Manusia ASEAN (HRRC), meluncurkan laporan ketiga yang meneliti bagaimana berbagai negara dan perusahaan ASEAN menanggapi keharusan hak asasi manusia di sektor bisnis.

Salah satu temuannya adalah bahwa negara-negara ASEAN memiliki kerangka hukum besar yang mengatur masalah tanah, tenaga kerja, dan lingkungan hidup, meskipun ada kesenjangan dan kelemahan. Namun tantangan utamanya adalah efektivitas peraturan yang lemah di negara-negara anggota, menurut Marzuki Darusman, direktur eksekutif HRRC.

Masalah geografi dan transportasi menimbulkan kesulitan untuk memantu dan mengatasi masalah secara cepat di Indonesia, Thailand, dan negara-negara ASEAN lainnya, kata Marzuki kepada Khabar Southeast Asia setelah perilisan resmi laporan itu pada tanggal 9 April di Hotel Four Seasons di Jakarta.

“Ini yang kita sebut sebagai ‘kesenjangan’,” katanya.

Bertindak di tingkat internasional

Lebih penting lagi, sementara negara-negara ASEAN memiliki kebijakan HAM di sektor korporasi, perusahaan-perusahaan tidak diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan tersebut, karena tidak ada standar yang ditetapkan untuk kepatuhan - hanya pedoman umum, kata Marzuki.

Tetapi HRRC bertindak untuk membantu mengubah hal itu. Pada bulan Desember 2012, HRRC mengumumkan keikutsertaannya dengan upaya internasional untuk mengembangkan standar pelaporan dan audit HAM bagi perusahaan-perusahaan.

Oleh karena itu, HRRC sedang dalam proses bermitra dengan firma audit global Mazars and Shift, lembaga nirlaba yang bekerja untuk mendukung prinsip-prinsip PBB tentang hak bisnis dan HAM.

"Dengan hubungannya yang kuat di semua tingkat di seluruh wilayah ASEAN, HRRC akan dapat memastikan bahwa dalam mengembangkan standar, akan ada perhatian penuh untuk memastikan bahwa mereka memang memenuhi kebutuhan dan aspirasi seluruh masyarakat ASEAN," menurut pernyataan HRCC.

Tanggung jawab perusahaan

ASEAN menangani HAM dengan sangat serius, menurut Solihin, wakil presiden untuk kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan pertambangan raksasa PT Freeport Indonesia.

"HAM telah menjadi perhatian serius ASEAN, dan mereka telah memperhatikannya dari setiap segi, tidak hanya di satu daerah tetapi seberapa jauh kepatuhan HAM dalam bisnis," kata Solihin kepada Khabar pada konferensi pertambangan di Jakarta bulan lalu.

Freeport telah menerapkan strategi "Nol Toleransi" untuk melindungi pekerja di lokasi pertambangan mereka, katanya, dan tingkat cedera serta kecelakaan telah turun dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tambang lainnya di Indonesia.

Namun, kekerasan masih menjadi masalah yang mempengaruhi pekerja di daerah pertambangan Freeport, ia menambahkan.

Secara terpisah, Kusuma Adinugroho, kepala pengembangan berkelanjutan dan hubungan sosial di perusahaan minyak dan gas Total E&P Indonesie, mengatakan bahwa perusahaannya memiliki kebijakan ketat untuk perilaku yang tidak etis.

"Perusahaan kami memiliki tata cara standar pelaksanaan sendiri. Kami harus menggunakan pedoman dan kebijakan dari kantor pusat, termasuk bagaimana menerapkan etika HAM dan kepatuhannya. Sekarang, tata cara ini sedang dilaksanakan secara intensif, bersama-sama dengan anti korupsi dan penyuapan. Hal ini berlaku untuk semua orang, mulai dari manajemen puncak sampai ke bawahan," kata Kusuma kepada Khabar.

Menurut ketentuan PBB, negara memiliki kewajiban untuk mencegah pelanggaran HAM oleh dunia usaha melalui kebijakan yang tepat, peraturan, dan adjudikasi. Namun bisnis memiliki sebuah peran juga.

"Zaman telah berubah. Sekarang bukan hanya tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikan konflik; sekarang melibatkan lebih banyak tanggung jawab perusahaan," kata Marzuki.

Masalah HAM di Myanmar

Situasi HAM suatu negara dapat menjatuhkan investasi asing. Perusahaan yang ingin memasuki Myanmar, misalnya, sekarang berpikir ulang, karena baru-baru ini terjadi kekerasan antaragama di sana, menurut laporan Thailand Business News.

Myanmar "telah menarik minat tinggi para investor" sementara negara ini bergerak maju dengan demokratisasi, ujar Arvind Ramakrishnan, seorang analis untuk konsultan risiko bisnis di Inggris, Maplecroft.

Namun, "para pemangku kepentingan tetap berhati-hati untuk berinvestasi besar di negeri ini, lebih memilih untuk menunggu dan melihat bagaimana kelanjutan proses reformasi ini," tambahnya.

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite