Khabar Southeast Asia

Wanita Aceh mengatakan mereka mengalami diskriminasi

Oleh Elisabeth Oktofani untuk Khabar Southeast Asia di Jakarta

Juni 18, 2013

Norma Manalu, seorang aktivis dari Aceh, berbicara pada pertemuan tanggal 4 Juni tentang hak-hak perempuan di Aceh, di Hotel Acacia di Jakarta. [Elisabeth Oktofani/Khabar].

Norma Manalu, seorang aktivis dari Aceh, berbicara pada pertemuan tanggal 4 Juni tentang hak-hak perempuan di Aceh, di Hotel Acacia di Jakarta. [Elisabeth Oktofani/Khabar].

Meskipun adanya perjanjian damai 2005 yang mengakhiri 30 tahun konflik berdarah di Aceh, kehidupan di provinsi itu belum membaik bagi perempuan dan anak-anak sejak saat itu.

Itu adalah pesan suram yang disampaikan oleh panel aktivis perempuan dari provinsi paling barat di Indonesia ini, yang berada di Jakarta tanggal 4 Juni untuk memaparkan temuan tentang kekerasan terhadap perempuan di Aceh dari tahun 2011-2012.

Selama masa itu, ada 1.060 kasus kekerasan terhadap perempuan, menurut Jaringan Pemantau 231, sebuah koalisi kelompok-kelompok hak-hak perempuan yang berbasis di Aceh.

Nama ini mengacu pada Pasal 231, mengenai pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dari UU No 11 tahun 2006, yang memungkinkan Aceh untuk menerapkan Hukum Syariah dalam status daerah istimewanya.

Koalisi ini berpendapat bahwa perempuan telah menjadi korban, tidak dilindungi, sebagai akibat dari penerapan hukum Syariah di Aceh. Mereka menghadapi kesulitan dalam memperoleh keadilan, stigmatisasi, intimidasi dan kekerasan.

Para aktivis menekankan, bagaimanapun juga, mereka tidak menentang Syariah itu sendiri. Cara penerapannyalah yang menimbulkan pertanyaan.

"Pelaksanaan Hukum Syariah harus mampu memulihkan keadilan yang layak dan meningkatkan kesejahteraan sosial untuk warga negaranya, yang tidak kami dapatkan selama konflik," kata Samsidar, seorang aktivis dari LBH Apik Aceh, kepada Khabar Southeast Asia.

"Di atas semua itu, hukum harus melindungi perempuan dan anak-anak di Aceh," tambahnya.

Hukuman yang kejam dan memalukan

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang menyelenggarakan pertemuan itu, telah menemukan 282 peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan di berbagai daerah di Indonesia.

Di Aceh, Komnas Perempuan telah menemukan 15 Perda seperti itu. Pelanggaran Perda dapat menyebabkan hukuman kejam dan memalukan seperti pemukulan, hukuman cambuk, dimandikan dalam air limbah, dan pernikahan paksa, kata kelompok itu.

"Banyak peraturan dibentuk untuk memajukan nilai-nilai agama dan moralitas. Tapi pelaksanaannya cenderung melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD Indonesia," menurut Komisaris Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Aziana Rambe, Sekjen Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), mengatakan kepada wartawan bahwa beberapa peraturan hanya berfungsi untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu yang lebih penting.

Sebuah peraturan baru yang melarang pakaian ketat bagi perempuan di Meulaboh, Aceh Barat, mengalihkan perhatian dari kegagalan pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi korban tsunami tahun 2004 di Meulaboh, tuduhnya.

Jika pemerintah setempat menerapkan Hukum Syariah dengan benar, "mereka akan fokus pada bagaimana untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan sosial Islam bagi warga Aceh," bantah Aziana.

Dia berkata bahwa mereka tidak akan fokus pada pakaian wanita ataupun tarian oleh perempuan.

Pro-demokrasi dan pro-Islam

Di Aceh, mereka yang mengkritik pemerintah akan secara cepat dicap anti-Syariah atau anti-Islam. Namun, para aktivis mengatakan bahwa hal itu tidak benar.

"Sebagai orang Aceh, mengapa kita berbicara sesuatu yang buruk tentang Aceh dan masih ingin kembali ke Aceh pada akhir hari?" Norma Manalu, seorang aktivis dari Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), mengatakan kepada forum.

"Kami ingin Aceh aman. Kami ingin pulang tanpa kekerasan atau diskriminasi lagi. Kami hanya ingin hidup damai dengan keluarga kami di Aceh," jelasnya sambil menangis.

"Kami tidak menentang pemerintah. Tapi jika ada sesuatu yang salah, kita harus memberitahu pemerintah dan memberi mereka beberapa masukan," kata Suraiya Khamauzaman, pendiri Flower Aceh Foundation. "Sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk bekerja sama dalam memenuhi tujuan kita dalam memberantas diskriminasi terhadap perempuan dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat."

Para wanita itu menegaskan bahwa mereka merangkul demokrasi dan juga Islam. "Indonesia adalah negara demokrasi, dan Aceh adalah bagian dari Indonesia. Oleh karena itu, kami percaya bahwa ada ruang demokrasi di Aceh juga," kata Samsidar.

"Meskipun ada banyak risiko di depan kami, kami ingin menggunakan hak kami sebagai warga negara Indonesia untuk membuat suara kami didengar. Perlu dipahami bahwa Islam adalah agama penuh keadilan, penuh kasih, dan peduli tentang orang lain. Islam adalah agama kesetaraan dan perdamaian," tambahnya.

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite