Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Pembunuhan Imam guncang komunitas Muslim di Thailand

Oleh Somchai Huasaikul dan Rapee Mama untuk Khabar Southeast Asia di Hat Yai

Agustus 07, 2013

Imam Yakob Raimanee, 49, (kiri) berbelanja manisan di sebuah pasar Pattani tahun lalu. Yakob, yang sangat dihormati dalam masyarakat dan seorang kritikus kekerasan, ditembak mati pada hari Senin (5 Agustus) meskipun adanya gencatan senjata Ramadhan yang disepakati dengan Barisan Revolusi Nasional (BRN), salah satu kelompok pemberontak utama di Ujung Selatan. [Rapee Mama/Khabar]

Imam Yakob Raimanee, 49, (kiri) berbelanja manisan di sebuah pasar Pattani tahun lalu. Yakob, yang sangat dihormati dalam masyarakat dan seorang kritikus kekerasan, ditembak mati pada hari Senin (5 Agustus) meskipun adanya gencatan senjata Ramadhan yang disepakati dengan Barisan Revolusi Nasional (BRN), salah satu kelompok pemberontak utama di Ujung Selatan. [Rapee Mama/Khabar]

Seorang imam yang sangat dihormati, yang berulang kali berbicara menentang kekerasan, dibunuh di depan istrinya dan orang lain di Kota Pattani pada hari Senin (5 Agustus) sore. Pembunuhan ini diyakini didalangi pemberontak.

Yakob Raimanee, seorang ulama berusia 49 tahun di Masjid Pusat Pattani, sedang berbelanja makanan dengan istrinya di pasar Jabang Teekor yang ramai di Kota Pattani ketika empat penyerang mengendarai dua sepeda motor mendekat dan menembaknya dua kali dari jarak dekat. Dia menderita satu luka tembak fatal di bagian belakang leher, membunuhnya seketika.

Peluru kedua melukai tangan kirinya.

Serangan ini, yang terjadi hanya beberapa hari sebelum akhir bulan suci Ramadhan, mengejutkan seluruh komunitas Muslim di Thailand. Sebanyak 3.000 orang menghadiri acara doa duka malam itu untuk memberikan penghormatan terakhir untuk Imam Yakob, salah satu kritikus kekerasan Thailand yang paling vokal di wilayah bermasalah ini dan juga merupakan pembicara radio ternama, yang pesan perdamaiannya telah disiarkan di seluruh negeri.

Pembunuhan itu terjadi meskipun adanya kesepakatan antara Thailand dan militan separatis untuk berusaha menghindari pertumpahan darah selama bulan suci Ramadhan, yang berakhir pekan ini. Kesepakatan gencatan senjata itu merupakan hasil nyata pertama dari pembicaraan damai yang sedang berlangsung antara pemerintah Thailand dan Barisan Revolusi Nasional (BRN), salah satu kelompok pemberontak utama.

Tetapi setelah masa yang relatif tenang seperti Ramadhan berlalu, kekerasan berlanjut pada akhir bulan Juli. Serangkaian serangan bom dan senjata menewaskan sembilan orang, termasuk guru dan aparat keamanan, sementara para pelaku membakar usaha setempat, dalam upaya nyata untuk mengganggu ekonomi Ujung Selatan.

Seorang pendukung kuat Islam dan perdamaian

Imam Yakob adalah pendukung vokal dialog perdamaian, dan pembunuhan atas dirinya telah menimbulkan kekhawatiran baru tentang masa depan pembicaraan, menurut AFP.

"Menurut saya, kejadian ini sangat mengkhawatirkan," kantor berita mengutip kepala Dewan Keamanan Nasional dan juru runding utama perdamaian, Paradorn Pattanatabut. "Imam tersebut merupakan salah satu orang yang mendukung perundingan ... dia dibunuh, sehingga kita prihatin."

Namun, dia berikrar bahwa pembicaraan akan berlanjut.

"Mereka mencoba untuk menakuti warga - jadi kita harus sabar dan kuat," katanya kepada AFP.

Imam Yakob, yang menjabat sebagai penghubung dengan anggota berpangkat tinggi dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) selama kunjungan mereka ke wilayah tersebut, sebelumnya telah ditargetkan oleh pemberontak.

Pada bulan Oktober 2011, ia selamat dari upaya penembakan padanya, di mana satu peluru melukai kepalanya, tetapi dia tidak cedera.

"Para penjahat ini akan menembak siapa pun," katanya setelah selamat. "Ulama, guru, semua orang berisiko. Mereka telah menembak banyak imam," katanya.

Polisi telah merilis gambar para penyerang dari CCTV dan mengatakan senjata yang digunakan dalam serangan ini cocok dengan yang sebelumnya digunakan dalam serangan penembakan mematikan di wilayah tersebut.

Langkah-langkah keamanan khusus sudah dilakukan untuk melindunginya, tetapi dia tetap memutuskan untuk pergi ke pasar hanya dengan istrinya untuk membeli makan malam.

Ramadhan adalah waktu untuk refleksi, bukan kekerasan

Sementara itu, para pemimpin Muslim lainnya di kawasan itu terus mengecam penggunaan kekerasan.

"Mengapa serangan kekerasan terus berlangsung di tiga provinsi paling selatan selama Lailatul Qadr, saya benar-benar tidak mengerti," kata Imam Muhammad Sanman, kepala Dewan Imam di District Yi-Ngor, setelah serangan bom 3 Agustus di Narathiwat. "Menurut Islam, 10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah waktu untuk membaca Al-Qur'an, shalat, berfokus pada keadaan rohani dan melakukan perbuatan baik, sementara sungguh-sungguh menahan diri dari semua keburukan.

"Mereka yang melakukan kesalahan akan menghadapi hukuman dari Yang Maha Kuasa atas tindakan mereka. Saya tidak tahu siapa pelakunya, tetapi saya percaya jika mereka Muslim sejati, mereka tidak akan pernah dengan sengaja menyakiti orang lain, dan pasti tidak selama bulan Ramadhan," kata Imam Muhammad.

Amree Sama-air, warga Rangae yang bekerja sebagai sopir yang mengantar para murid ke sekolah dengan sebuah truk bak terbuka yang dimodifikasi, menyatakan kecewa mengenai berlanjutnya kekerasan yang telah menodai gencatan senjata Ramadhan.

"Insiden ini benar-benar menakutkan," katanya kepada Khabar. "Saya tidak tahu perjanjian apa yang dibuat pemerintah dengan BRN. Pada awal Ramadhan, jumlah insiden tampaknya menurun, tetapi sekarang telah menjadi begitu sering sehingga saya takut menjadi sopir, karena saya tidak tahu, bagaimana para pelaku ini memilih kelompok sasaran mereka."

"Saya percaya bahwa jika tidak terjadi pengurangan bahkan selama bulan Ramadhan dengan gencatan senjata sementara, maka keadaan tidak akan menjadi lebih mudah dalam bulan-bulan mendatang. Masalah ini tidak mudah dipecahkan; isu-isu yang mendasar memiliki akar yang kuat," katanya.

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite