Maret 18, 2014
Nasib kelompok etnis Muslim Rohingya yang tidak bernegara ini direkam dalam warna hitam-putih oleh wartawan foto Greg Constantine, yang menghabiskan delapan tahun mendokumentasikan kehidupan mereka di Myanmar dan negara tetangganya, Bangladesh.
Foto-foto ini dipamerkan selama sepuluh hari pada bulan Februari di Galeri Seni Cemara 6 di Jakarta. Pameran yang bertema ”Rohingya Myanmar: Diasingkan ke Antah Berantah” ini merupakan bagian dari proyek jangka panjang “Orang Antah Berantah” dari Constantine, yang meliput kesulitan komunitas yang tidak memiliki negara.
“Judul ini juga bisa bermakna pengasingan dari semua tempat. Sangat cocok,” kata Lars Stenger dari Jesuit Refugee Service (JRS), sebuah LSM internasional yang turut mengorganisir pameran tersebut.
Kaum Rohingya hidup di negara bagian Rakhine di Myanmar barat, tetapi sebuah hukum tahun 1982 mencabut kewarganegaraan mereka dari Myanmar. Pada bulan Juni 2012,bentrokan kerusuhan antara Muslim Rohingya dan etnis Budha Rakhine mengakibatkan sedikitnya 200 kematian, dan ribuan orang Rohingya mengungsi.
Constantine berkata, dia tidak pernah memamerkan karyanya dengan tampilan keagamaan, sebaliknya berfokus pada keadaan yang berkaitan dengan penolakan dari tanah air.
“Karya ini menengahkan berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia yang dihadapi masyarakat Rohingya setiap hari dan perasaan mereka pada umumnya, yaitu tidak memiliki masa depan, yang dirasakan kebanyakan orang dari masyarakat Rohingya,“ ujar seniman Amerika ini kepada wartawan di pembukaan pameran pada tanggal 6 Februari. ”Ini adalah contoh paling ekstrim akan keadaan tanpa memiliki kewarganegaraan.”
Foto-foto karya Constantine ini diambil di Sittwe, Myanmar dan di Bangladesh selatan. Foto-foto ini menunjukkan mereka yang tinggal di gubuk-gubuk kecil dan primitif yang terbuat dari ijuk bambu dan jerami.
Sebuah foto menangkap persiapan pemakaman bagi anak berusia 15 tahun yang meninggal karena penyakit tifus. Foto-foto lainnya menunjukkan masyarakat Rohingya yang menghadapi intoleransi di Bangladesh, dimana mereka dianggap sebagai migran ekonomi ilegal.
Sejumlah foto menunjukkan bagian luar masjid tua berusia 200 tahun yang runtuh di wilayah Zaldan Kama di Sittwe. Sebuah foto lain menunjukkan seorang anak Rohingya mencari besi atau logam bekas untuk dijual, dari lingkungan Muslim yang bobrok di Kundar, Sittwe.
Rohingya di Indonesia
Meskipun tidak ada foto masyarakat Rohingya di Indonesia, Febionesta, kepala Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia bagi Perlindungan Pengungsi (SUAKA), berkata bahwa pameran ini akan meningkatkan kesadaran mengenai masalah yang mereka hadapi di sini.
Febionesta berkata bahwa pada saat ini ada 711 pencari suaka Rohingya di negara ini, yaitu 10% dari total populasi pencari suaka di Indonesia dan kelompok terbesar kedua setelah Afghanistan.
Sementara ini, Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memberikan status pengungsi kepada 781 Muslim Rohingya lainnya. Namun, 98% dari mereka masih menunggu pemukiman kembali ke negara ketiga, kata Febionesta.
Karena Indonesia bukan merupakan pihak yang ikut serta dalam konvensi pengungsi PBB 1951, pemukiman kembali bisa memakan waktu bertahun-tahun.
“Sejauh ini, belum terjadi pemukiman kembali. Jadi, ada pertanyan besar tentang apa yang bisa dilakukan kita dan negara-negara untuk menghentikan pengasingan mereka,” ujar Febionesta, seraya menambahkan bahwa berbagai LSM bisa membantu mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang mendirikan kerangka hukum untuk Rohingya di Indonesia.
Constantine berharap karyanya menghasilkan lebih banyak diskusi di Indonesia mengenai nasib Rohingya, yang dia jelaskan sebagai “masyarakat yang sangat teguh”.
“Itulah peran saya. Peran ini sangat khusus, yaitu menggunakan fotografi dokumenter dan jurnalistik foto sebagai cara untuk memicu diskusi aktif,” kata Constantine.