Juni 07, 2014
Dua perwira polisi bersama dengan seorang pensiunan polisi dan seorang pejabat pemerintah daerah, termasuk di antara enam orang yang ditangkap pada 15 Mei atas dugaan pembakaran dua bangunan kantor kecamatan di Kabupaten Donggala, keduanya menyimpan kotak-kotak surat suara yang dicoblos dalam pemilu legislatif 9 April di Indonesia.
Bangunan-bangunan itu, yang terpisah sekitar 25 km jauhnya di kecamatan Sindue Induk dan Sindue Tobata, terbakar pada 16 April. Polisi menduga pembakaran itu disengaja, karena kedua kebakaran terjadi sekitar pukul 19:00 setelah kantor ditutup. Tidak ada yang terluka dalam kebakaran itu, tetapi sebagian besar kotak suara hancur.
Salah satu tersangka, pensiunan polisi Dariswan S.P. Lumu, adalah calon DPR dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Potensi daerah pemilihannya mencakup Sindue Tobata, kata juru bicaraPolda Sulawesi Tengah Oetoro Saputra.
"Mungkin karena kecewa lantaran mendapatkan sedikit suara dalam penghitungan akhir pada pemilu DPR tanggal 9 April,
Dariswan S.P. Lumu mengerahkan sejumlah warga sipil... untuk membakar dua kantor tersebut,” kata Oetoro kepada Khabar Southeast Asia.
Perwira polisi aktif Briptu Reza Filsafat dan Briptu M. Farid, adalah anggota Polda. Tiga tersangka lainnya diidentifikasi sebagai kepala Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Supardin, Adi Wijaya, dan Rockyanto.
Bukti dari TKP dan kesaksian dari 44 saksi berujung pada penangkapan tersebut, kata Oetoro, seraya menambahkan bahwa polisi masih menyelidiki apakah ada lebih banyak orang lagi yang terlibat. Para tersangka dijerat Pasal 187 KUHP. Jika terbukti bersalah, mereka bisa terancam hukuman lebih dari lima tahun penjara.
Pengamanan pemilu
Mengomentari berita surat suara yang dibakar, Neta S. Pane, Ketua Indonesian Police Watch (IPW), mengatakan polisi perlu bekerja lebih baik dalam melindungi dokumen-dokumen seperti itu.
"Amat penting bagi Polri untuk mengevaluasi kinerja mereka. Dengan demikian, insiden serupa tidak akan terjadi lagi dalam pemilihan presiden pada tanggal 9 Juli. Seperti kita ketahui, pemilihan presiden akanlebih seru daripada pemilu legislatif,” kata Neta kepada Khabar.
Juga penting agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Polri menindaki kasus-kasus pidana pelanggaran pemilu segera setelah kejadian, kata Veri Junaidi, wakil direktur dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Sejauh ini, sebagian besar kasus pelanggaran pidana pemilu tidak dapat ditindaklanjuti oleh polisi karena kurangnya alat bukti dan juga keterbatasan waktu untuk memproses kasus tersebut. Oleh karena itu, kasus seperti ini biasanya menghilang seolah-olah tidak pernah terjadi,” kata Veri kepada Khabar.
Yosita Nirbhaya di Jakarta memberikan kontribusi untuk laporan ini.