Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Indonesia: Lembaga gugat anak yang merokok.

Oleh Yamko Rambe untuk Khabar Southeast Asia di Jakarta

Juni 23, 2012

Seorang pelajar Indonesia merokok di stasiun kereta di Jakarta pada tanggal 24 Mei. Para advokat perlindungan anak di Indonesia berencana mengajukan gugatan perdata untuk mendorong terbentuknya peraturan yang lebih keras melawan anak yang merokok. [Beawiharta/Reuters]

Seorang pelajar Indonesia merokok di stasiun kereta di Jakarta pada tanggal 24 Mei. Para advokat perlindungan anak di Indonesia berencana mengajukan gugatan perdata untuk mendorong terbentuknya peraturan yang lebih keras melawan anak yang merokok. [Beawiharta/Reuters]

Di Indonesia, rokok bisa dijual untuk siapapun, termasuk anak-anak dan bahkan balita. Perusahaan-perusahaan tembakau mengeluarkan banyak dana dalam mengiklankan produk mereka, sering kali membidik kaum muda sebagai sasaran.

Iklan yang mempromosikan rokok tampil pada hampir semua program TV setiap jam siang maupun malam. Iklan-iklan itu biasanya menunjukkan kelompok anak muda yang sedang bersantai, individu yang kreatif dan berjiwa petualangan, atau putra-putra yang patuh melanjutkan warisan keluarga.

Merokok di usia muda berakar pada budaya setempat. Di banyak wilayah di Jawa, contohnya, tembakau dan cengkeh mudah tumbuh, dan rakyat banyak membudidayakan tanaman ini. Kretek (rokok cengkeh) sering diberikan kepada anak lelaki berusia 10-12 tahun selama upacara tradisional beranjak dewasa, yang secara mewah dirayakan di banyak wilayah di Indonesia.

Namun demikian peningkatan merokok di antara generasi baru memakan biaya yang besar, mengancam potensi ekonomi negara ini, demikian menurut para kritikus.

"Para murid SMP hari ini akan memasuki usia kerja pada tahun 2020. Karena kegiatan merokok pada kelompok usia ini, banyak yang akan jatuh sakit dan tidak mampu bekerja. Kecenderungan merokok pada anak yang kini terjadi sungguh mengkhawatirkan," kata Abdillah Ahsan, seorang periset di Institut Demografis, Universitas Indonesia, pada seminar bulan Mei yang disponsori oleh Kementerian Kesehatan.

Sekarang ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak, sebuah organisasi semi-mandiri yang dibentuk oleh pemerintah, sedang merancang gugatan kelas yang mereka harapkan akan membendung peningkatan ini dan membuka jalan menuju peraturan yang lebih keras.

"Kami berencana mengajukan gugatan ini pada bulan Juli, jika mungkin, bersamaan dengan Hari Anak Nasional," kata direktur utama Komnas Anak Arist Merdeka Sirait kepada Khabar Southeast Asia. Perusahaan-perusahaan rokok dan pemerintah Indonesia akan ditempatkan sebagai tergugat.

"Gugatan ini tidak mencari ganti rugi keuangan. Permintaan kami adalah supaya industri rokok lebih bertanggung jawab dan supaya pemerintah meningkatkan kebijakan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rokok," kata Sirait.

Pada tahun 1995, Komnas Anak menerima 71.000 laporan anak yang merokok; pada tahun 2007, angka itu telah meningkat menjadi 429.000. Komisi menyatakan mereka telah menerima laporan dari sekitar 20 keluarga yang menyatakan bahwa anak-anak balita mereka yang berusia antara 11 bulan sampai dua tahun mulai mengembangkan kebiasaan merokok.

Terlebih lagi, kata Sirait, sekitar 89 juta balita di Indonesia terpapar asap rokok orang lain, akibat peraturan yang buruk.

Dua tahun lalu, sebuah video balita yang merokok berantai di sebuah desa terpencil di Indonesia masuk ke dalam YouTube dan menjadi tajuk berita internasional, mengkhawatirkan jutaan orang di seluruh dunia akan perokok kaum muda di negara-negara berkembang.

"Yang memprihatinkan kami adalah fakta bahwa usia anak yang merokok dilaporkan makin muda, dan kini Indonesia dijuluki negara anak yang suka merokok," katanya. "Kita tidak perlu pengendalian tembakau; tembakau punya banyak manfaat. Yang kita perlukan adalan pengendalian rokok."

Tulus Abadi, pemimpin Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa universitas harus menolak beasiswa dari perusahaan rokok yang ditawarkan sebagai bagian proyek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) mereka.

"Beasiswa yang ditawarkan oleh perusahaan rokok tidak bisa digolongkan sebagai CSR. Malahan, pemberian beasiswa dari mereka adalah kebalikannya," kata Tulus kepada Khabar, seraya menyebutkan pemberian itu sebagai "cara lain perusahaan-perusahaan itu untuk mempromosikan produk mereka".

Indonesia sudah dicela secara internasional karena menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia-Pasifik yang belum mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja atas Pengendalian Tembakau dari Organisasi Kesehatan Dunia.

Sementara itu, pemerintah telah mengumumkan langkah-langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah saat ini sedang menyelesaikan peraturan baru yang akan membentuk zona bebas rokok di sekolah, sarana layanan kesehatan dan tempat umum yang lain, demikian lapor Jakarta Post pada tanggal 7 Juni. Sebagai tambahan, pemerintah akan mengharuskan peringatan untuk ditampilkan di bungkus rokok, dalam rangka mematuhi hukum kesehatan tahun 2009.

Awal Tentang Kami Hubungi Kami Sanggahan +Fullsite