Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Dieng rayakan budaya tradisional Jawa, dan toleransi

Oleh Zahara Tiba untuk Khabar Southeast Asia di Dieng, Jawa Tengah

Juli 14, 2012

Didampingi seorang tetua, seorang petugas pemerintah setempat memotong kuncir rambut kusut seorang anak perempuan dalam Festival Budaya Dieng 2012 yang diadakan di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Juli. [Foto oleh Zahara Tiba/Khabar].

Didampingi seorang tetua, seorang petugas pemerintah setempat memotong kuncir rambut kusut seorang anak perempuan dalam Festival Budaya Dieng 2012 yang diadakan di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Juli. [Foto oleh Zahara Tiba/Khabar].

Selama tiga tahun terakhir, Festival Budaya Dieng telah memamerkan kekayaan budaya dan keindahan alami Dataran Tinggi Dieng yang terletak di ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut, di kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Para pengunjung dapat melihat para dewa dan pangeran dari tradisi budaya Hindu-Budha di Jawa dihidupkan dalam pertunjukan wayang kulit, diiringi oleh iringan musik orkestra gamelan Jawa yang agung dan merdu.

Para pemain alat musik tradisional Jawa berbaris dalam prosesi selama festival.

Para pemain alat musik tradisional Jawa berbaris dalam prosesi selama festival.

Festival ini juga mempertunjukkan upacara khas dari berabad-abad yang lampau, bernama “ruwatan”, yaitu upacara pemotongan kuncir anak yang diyakini dapat mencegah jatuhnya sakit dan kemalangan dalam komunitas.

Menurut tradisi, anak-anak lokal yang rambutnya kusut adalah keturunan Kyai Kolodete, pendiri mitologis Dataran Tinggi Dieng yang menerima hadiah rambut kusut dari Ratu Kidul, Ratu Laut Selatan. Ratu itu menginginkan kembali hadiah itu.

Upacara itu dilakukan di depan Kompleks Kuil Arjuna, sebuah tempat beribadah bagi umat Hindu yang diduga berusia 1.000 tahun, dan tidak jauh dari Telaga Warna, sebuah danau berwarna hijau-biru yang indah karena endapan mineralnya.

Untuk ikut serta, anak-anak harus meminta rambut mereka dipotong, dan mereka harus diberi hadiah apapun yang mereka minta. Jika upacara itu tidak dilakukan dengan sepatutnya, maka rambut kusut itu bisa tumbuh kembali.

Kuncir yang dipotong itu biasanya dilempar ke Sungai Serayu yang tidak jauh dari daerah itu, yang bermuara ke Lautan Hindia atau Laut Selatan.

Meskipun sudah berlangsung selama berabad-abad, upacara itu dilakukan selama tiga tahun terakhir dalam Festival Budaya Dieng, yang dikelola para pejabat pariwisata setempat dan diadakan tahun ini dari tanggal 30 Juni sampai 1 Juli.

Bagi orang Jawa, tradisi seperti ini adalah bagian dari Kejawen – yaitu keyakinan dan kebiasaan Jawa. Beberapa pihak menggolongkan Kejawen sebagai agama, sementara yang lain berdebat bahwa pandangan itu terlalu sempit. Kejawen memberi pengertian tentang nilai etika dan rohani dari budaya Jawa.

Di Dieng, tradisi ruwatan dilestarikan oleh umat Muslim yang mendominasi daerah itu, meskipun beberapa pihak menganggapnya sebagai musyrik – yaitu menyembah dewa lain selain Allah.

"Ini merupakan cara kami melestarikan budaya setempat, tradisi timur, agar tidak lenyap. Kami telah melakukan upacara semacam itu sejak para leluhur kami memulainya di masa yang sangat lampau. Ini tidak ada hubungannya dengan agama kami. Warga di sini masih berdoa kepada Allah setiap hari. Kami membangun banyak pesantren (sekolah Islam) dan mengirim anak-anak untuk mempelajari Islam di sana," kata Naryono, salah satu tetua dari Dieng yang memimpin upacara festival itu, kepada Khabar Southeast Asia.

Menjaga kebersamaan tradisi dan keyakinan Islam, menurut Naryono, adalah kunci untuk menciptakan suasana adem ayem tentrem di Dieng -- sebuah ungkapan bahasa Jawa yang berarti "kehidupan penuh damai dan kerukunan".

"Tidak ada perselisihan antara penduduk yang mengikuti Kejawen dan Islam dalam sejarah Dieng. Kami hidup sebagai kesatuan yang rukun, dan saling membantu. Itulah kuncinya," tutur Naryono, yang juga mengikuti upacara yang sama ketika dia masih kecil.

"Dan kami akan menjaga tradisi ini di masa depan. Jika bukan karena kami, siapa lagi?" tambahnya.

Farizah Hazanah, 35 tahun, adalah ibu yang bangga dari Baqiatus Sifaul Balayah yang berusia empat tahun, satu dari enam anak yang rambutnya dipotong tahun ini. Baqiatus meminta sebuah sepeda baru dan sepuluh telur ayam sebagai hadiah.

Intan Rahmi Diani yang berusia empat tahun, satu dari enam anak yang dipilih untuk ikut serta dalam upacara pemotongan rambut “ruwatan” itu, didampingi oleh ibunya di atas kereta kuda tradisional.

Intan Rahmi Diani yang berusia empat tahun, satu dari enam anak yang dipilih untuk ikut serta dalam upacara pemotongan rambut “ruwatan” itu, didampingi oleh ibunya di atas kereta kuda tradisional.

"Inilah tradisi yang harus kami lestarikan. Kami hanya melanjutkan apa yang dilakukan ayah kami dan saya masih berdoa kepada Allah," kata Farizah, sambil membetulkan letak mukenanya. Pada saat masih kecil, Farizah juga melakukan upacara itu.

Dwi Yono, 28 tahun, mengakui bahwa upacara itu mungkin dihubungkan dengan musyrik.

"Namun, inilah budaya kami yang harus kami lestarikan. Inilah tanggung jawab kami. Islam sendiri mengajarkan kami untuk percaya kepada yang tidak kelihatan. Untuk percaya, bukan menyembah mereka bersama Allah," kata Dwi, yang aktif ikut serta dalam pembelajaran Qur'an (majlis taklim).

Dia tidak merasa terganggu dengan menghormati tradisi sementara memeluk dan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

"Dengan pengetahuan atau keyakinan yang kita miliki, kita tidak bisa menghakimi orang lain. Itulah yang saya sebut sebagai toleransi," katanya.

Kakek Dwi terus melakukan upacara dengan memberi persembahan di rumah keluarga mereka. Dia menaruh persembahan di ruang keluarga setiap hari istimewa. Mereka kebanyakan meletakkan bubur nasi, kopi hitam, dan kemenyan.

"Warga yang menerapkan Kejawen seperti kakek saya percaya bahwa roh para leluhur kami seringkali mengunjungi keturunan mereka untuk melihat kehidupan mereka," kata Dwi.

Dia yakin bahwa melestarikan tradisi dan agama membuahkan perdamaian dan pendapatan bagi Dieng.

"Warga Dieng telah memberikan contoh terbaik akan hidup bertoleransi dan pelestarian budaya juga baik bagi pariwisata," Dwi menambahkan.

Awal Tentang Kami Sanggahan +Fullsite