Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Kelompok garis keras Indonesia gagal melarang diskusi buku

Oleh Aditya Surya untuk Khabar Southeast Asia di Semarang

Maret 04, 2014

Para pendukung Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa di luar kedutaan Myanmar di Jakarta pada bulan Juli 2013. Pada tanggal 17 Februari tahun lalu, para aktivis FPI memprotes sebuah diskusi di Semarang mengenai buku tentang Tan Malaka, tokoh sejarah Indonesia yang kontroversial. [Romeo Gacad/AFP]

Para pendukung Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa di luar kedutaan Myanmar di Jakarta pada bulan Juli 2013. Pada tanggal 17 Februari tahun lalu, para aktivis FPI memprotes sebuah diskusi di Semarang mengenai buku tentang Tan Malaka, tokoh sejarah Indonesia yang kontroversial. [Romeo Gacad/AFP]

Penduduk Indonesia melawan kelompok garis keras yang berusaha untuk mencegah diskusi publik mengenai peristiwa sejarah tertentu dan individu yang mereka anggap buruk bagi masyarakat.

Pengunjuk rasa dari Front Pembela Islam (FPI), cabang Jawa Tengah, Laskar Merah Putih, dan kelompok-kelompok lain baru-baru ini mencoba untuk menghentikan diskusi di Semarang yang membahas sebuah buku mengenai Tan Malaka, seorang tokoh kontroversial dalam sejarah Indonesia.

“Diskusi ini tidak akan baik bagi masyarakat kita karena tokoh dalam buku ini bukan contoh yang baik, terutama dengan adanya ideologi Marxis dalam buku itu,” kata Sibahudin, ketua FPI Jawa Tengah. ”Diskusi ini hanya akan menimbulkan rasa tidak aman dalam masyarakat kita.”

Namun, acara tanggal 17 Februari ini, yang disponsor oleh kelompok-kelompok lokal termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, dipindahkan ke Universitas Diponegoro. Diskusi ini berjalan lancar tanpa halangan dan dihadiri sekitar 500 orangi, menurut Tempo.

Salah seorang penyelenggara, Yunanto Adi, mengatakan bahwa mereka yang tidak setuju dengan isi buku sebaiknya ikut serta dalam diskusi terbuka daripada mencoba untuk menghalangi kebebasan berbicara.

“Supaya mereka bisa memahami perdebatan,” kata Yunanto kepada Khabar. ”Ini adalah bagian dari sejarah negara kita.”

Dihapus dari sejarah

Harry Poeze, sejarawan Belanda dan penulis buku ”Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, September 1948-Desember 1949,” memimpin diskusi tersebut. Tur diskusi buku Poeze itu juga terganggu oleh protes serupa.

Sebuah diskusi buku pada awal Februari dibatalkan di Surabaya setelah polisi setempat menolak untuk mengeluarkan izin untuk alasan keamanan, Jakarta Globe melaporkan.

Namun demikian, diskusi yang dipenuhi peserta itu berlangsung pada tanggal 6 Februari di Universitas Negeri Surabaya dan 7 Februari di Universitas Airlangga, menurut Tempo.

Tan merupakan seorang pemimpin gerakan kiri dan pejuang kemerdekaan selama tahun-tahun pra-kemerdekaan Indonesia. Meskipun pihak militer mengeksekusinya pada tahun 1949, sejumlah pihak memandangnya sebagai salah satu bapak pendiri Indonesia bersama dengan Presiden pertama Soekarno, dan yang lainnya.

Meskipun pada tahun 1963 Soekarno menganugerahkan penghargaan pahlawan nasional pada Tan, karena Tan berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), rezim Orde Baru Soeharto menghapuskan tulisan tentang jasanya dari buku-buku.

Baru-baru ini, pada tanggal 21 Februari di daerah asal Tan di Sumatera Barat, para pejabat mempersembahkan patung perunggu Tan kepada publik.

“Kisah Tan Malaka mengungkapkan perebutan kekuasaan antara Orde Lama dan Baru,” kata sejarawan Sarita Rushia, seorang mahasiswi pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

“Tan Malaka menggabungkan Islam dan Marxisme. Itulah sebabnya ia menjadi kontroversial bagi banyak orang Indonesia. Bagi banyak orang Indonesia, kedua ideologi itu tidak bisa digunakan bersama-sama,” katanya kepada Khabar. ”Kebanyakan orang Indonesia menghargai Islam sebagai agama, sementara Marxisme adalah sebuah ideologi yang bertentangan dengan Islam. Diskusi buku seperti ini menunjukkan betapa terbukanya masyarakat kita.”

Awal Tentang Kami Hubungi Kami Sanggahan +Fullsite