Khabar Southeast Asia

  • English
  • Bahasa

Presiden Yudhoyono dari Indonesia berbicara menentang negara Islam

Oleh Aditya Surya untuk Khabar Southeast Asia di Bali

Mei 21, 2014

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) menerima Penghargaan Soekarno, penghargaan kenegarawanan yang dinamakan atas presiden pertama Indonesia pada tanggal 7 Mei di Bali. [Muhammad/Khabar]

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) menerima Penghargaan Soekarno, penghargaan kenegarawanan yang dinamakan atas presiden pertama Indonesia pada tanggal 7 Mei di Bali. [Muhammad/Khabar]

Indonesia harus menangkal upaya untuk mengubah bangsa menjadi negara Islam, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang akan habis masa jabatannya, belum lama ini.

Sebuah gerakan untuk menghapuskan pemerintahan sekuler Indonesia dan memberlakukan hukum syariah secara nasional bertentangan dengan UUD, Yudhoyono memperingatkan pada tanggal 7 Mei di Gianyar, Bali ketika ia menerima Penghargaan Soekarno untuk kenegarawanan.

“Indonesia adalah negara sekuler dan itu merupakan warisan kita yang penting dari Soekarno dan para bapak pendiri Indonesia lainnya,” kata Yudhoyono dalam pidato penerimaannya di Soekarno Centre.

Menjaga keutuhan warisan sekularisme Soekarno sangat penting untuk menjaga pluralitas agama, ia menambahkan.

"Panggilan Soekarno tidak hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga bisa menjawab semua pertanyaan hari ini tentang toleransi beragama di Indonesia,” kata Yudhoyono.

Pemimpin PKB: Hormati UUD

Komentar ini muncul sementara negara bersiap untuk memilih presiden baru pada tanggal 9 Juli dan setelah lima partai berbasis Islam secara total meraih 33% suara dalam pemilu legislatif bulan lalu.

Partai-partai berbasis agama ini bergabung dengan koalisi untuk pemilihan presiden, tetapi tidak jelas apakah salah satu dari mereka akan mendorong pelaksanaan hukum syariah.

Mohammad Mahfud MD, seorang tokoh terkemuka dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengatakan pidato Yudhoyono itu membangkitkan langkah moderat yang didukung oleh mantan presiden dan pemimpin Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

“Kita harus belajar dari sejarah Gus Dur. Ia lebih memilih meninggalkan jabatan kepresidenannya daripada bekerja bertentangan dengan UUD,” kata Mahfud, mantan hakim agung dari Mahkamah Konstitusi, kepada Khabar Southeast Asia. ”Meskipun ia tidak lagi bersama kita, semangat pluralisme Gus Dur adalah contoh yang baik dan kita harus meneruskan semangat ini dan menyalurkannya ke generasi muda kita.”

Sebuah negara yang unik

Pidato Yudhoyono disampaikan di sekitar waktu dimana negara tetangga Brunei Darussalam menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menyatakan hukum syariah sebagai hukum negara.

“Saya tahu mayoritas pemeluk agama di Brunei adalah Muslim. Tetapi Indonesia memiliki dinamika yang sama sekali berbeda dari Brunei,” kata warga Jakarta Joko Prasetyo kepada Khabar. ”Kami bersatu melalui agama-agama yang berbeda, bahasa, dan etnis. Kami menyadari betapa berbedanya kita.”

Seseorang tidak perlu tinggal di sebuah negara Islam untuk menjadi seorang Muslim yang baik, kata seorang ulama di Jakarta Pusat, Muhammad Arif Maulana, kepada Khabar.

“Indonesia adalah negara yang unik. Kita harus memperkaya keragaman ini dan tidak membunuhnya. Islam mencintai toleransi, dan kami akan menjadi Muslim yang baik dengan merangkul toleransi, membantu orang lain yang membutuhkan, dan zakat (sedekah). Kita bisa melakukan semuanya ini di Indonesia yang sekuler,” katanya.

Awal Tentang Kami Hubungi Kami Sanggahan +Fullsite